Sabtu, 21 November 2009

Reformasi, Otonomi Daerah, dan " Bias" Relasi Antarelite

Rabu, 7 Oktober 2009 - 10:00 wib
Sedikitnya ada 2 (dua) catatan penting yang menarik untuk digarisbawahi dalam menyimak perjalanan "reformasi" hubungan pusat-daerah pada kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini (1999-2009).

Pertama, terbukanya peluang yang lebih luas untuk "menggugat" rentang panjang kemapanan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pengaturan desentralisasi dan otonomi daerah di tanah air. Bila sebelumnya (pada periode Orde Baru) relasi antara pemerintah pusat dan daerah cenderung "sentralistis", maka melalui implementasi UU No 22 dan 25 Tahun 1999 telah "dipaksa" untuk lebih mengarah ke kutub desentralisasi.

Kendati implementasi dua undang-undang tersebut relatif berumur pendek (karena pada bulan Oktober 2004 telah diterbitkan UU baru tentang pemerintahan daerah, UU No 32 dan 33 Tahun 2004), "semangat kontra-sentralisasi" yang diletakkannya telah menjadi tonggak sejarah penting dalam reformasi sistem pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya pada periode "pasca-Orde Baru".

Kedua, sejalan dengan gelombang reformasi konsep dan kebijakan tersebut, studi tentang desentralisasi dan otonomi daerah pun mulai banyak menarik perhatian para analis. Semakin berkembangnya studi-studi ini tentunya telah memiliki implikasi yang sangat positif terhadap rekonstruksi konsep desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

Anomali Konsep dan Kebijakan

Meski demikian, tidak kalah pentingnya untuk dicatat adalah bahwa reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung pada kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini juga telah disertai adanya "anomali" konsep dan kebijakan, yang pada gilirannya telah melahirkan sejumlah implikasi yang cenderung kontraproduktif.

Misalnya saja, karena semakin terbukanya peluang untuk menggugat hegemoni negara dalam proses pengambilan keputusan, hal ini kemudian telah mendorong pihak pemerintah (pusat maupun daerah) untuk mengadopsi pendekatan kebijakan yang bersifat "pragmatis-parsialistis" dalam menyikapi dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul sebagai akibat dari implementasi desentralisasi dan otonomi daerah.

Sementara pada ranah akademis, nuansa kontraproduktif tersebut diindikasikan oleh adanya gejala "pemaksaan akademis" dari kalangan para analis ketika menjustifikasi keterkaitan antara isu-isu yang sedang dikaji dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian banyak analisis yang telah dilakukan cenderung bias, utamanya ketika mencoba menjelaskan keterkaitan antara munculnya berbagai persoalan di daerah dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Akhirnya, dalam banyak hal, desentralisasi dan otonomi daerah acap telah dinilai sebagai kebijakan yang berbahaya dan untuk mengatasi masalah ini, sejumlah rekomendasi akademis dan kebijakan yang cenderung kontroversial pun diajukan. Misalnya, disebutkan bahwa resentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat dapat dipertimbangkan sebagai solusi untuk mengatasi berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang menerpa daerah saat ini.

Secara "berlahan tapi pasti", rekomendasi kontroversial yang dihasilkan dari "bias pemahaman" atas realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tersebut mulai menyebar menjadi wacana publik atau bahkan dalam banyak hal telah diadopsi oleh para penyelenggara negara sebagai justifikasi akademis atas sejumlah revisi kebijakan yang diambil.

Kecenderungan ini, tentu, sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan konsep maupun implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dikatakan demikian karena rekomendasi akademis dan kebijakan yang dihasilkan dari "bias pemahaman" atas realitas yang terjadi tidak saja akan berimplikasi pada "pelapukan konsep" desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri, tetapi juga akan berimbas pada "pengekalan" pendekatan kebijakan yang bersifat "pragmatis-parsialitis" oleh pihak pemerintah.

Lebih jauh dari itu, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, pada gilirannya, akan dijadikan sebagai "kambing hitam" dan didaulat sebagai "penanggung dosa" atas berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang muncul di daerah saat ini.

Pergeseran Relasi Antarelite

Sebenarnya, "bias pemahaman" dan "rekomendasi kontroversial" tersebut tidak perlu harus terjadi jika saja para analis dan para penyelenggara negara memiliki sensitivitas akademis yang tajam dalam mengartikulasi berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik kontemporer di daerah.

Dengan kepekaan tersebut, akan terlihat dengan jelas bahwa secara substansial, tidak semua permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di daerah saat ini merupakan implikasi langsung dari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Namun lebih sebagai akibat dari adanya pergeseran pola interaksi antara state dan society pada periode pascapemerintahan Suharto.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sejatinya tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik lokal yang sedang terjadi. Oleh karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan solusi kebijakan yang tepat akan hal tersebut, "pemaknaan" atas realitas yang terjadi tidak cukup hanya direkam berdasarkan lensa perspektif desentralisasi dan otonomi daerah an sich, tetapi juga harus dilihat keterkaitannya dengan dinamika politik lokal yang terjadi, khususnya pada konteks pergerseran relasi state-society (negara dan masyarakat) seiring dengan gerakan "reformasi" pasca-Orde Baru.

Satu di antara karakteristik penting dari perubahan pola interaksi state-society tersebut adalah masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, peran masyarakat dalam hal ini belum dalam arti civil society, tetapi lebih banyak diwakili oleh elite masyarakat (societal actors).

Dalam kondisi seperti ini, sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan, baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai koalisi dan tawar-menawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi dan state actors (para elite penyelenggara negara) pada sisi lain.

Pada konteks inilah, desentralisasi dan otonomi daerah serta berbagai produk turunannya seperti pemekaran daerah dan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus didudukkan dan dimaknai. Dalam narasi yang lebih lugas, postulat di atas mengisyaratkan bahwa berbagai masalah sosial dan politik yang muncul di daerah saat ini tidak sepenuhnya sebagai dampak langsung dari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, tetapi juga merupakan implikasi dari adanya "pergeseran" pola interaksi antara negara dan masyarakat (state-society relation) pada periode pasca-Orde Baru.

Solusi ke Depan

Bila postulat di atas dapat dipertimbangkan keabsahannya, tidak berlebihan dikatakan bahwa beberapa rekomendasi kontroversial yang berkembang akhir-akhir ini--misalnya berkaitan dengan penghapusan pilkada dan "resentralisasi" kekuasaan di tangan pemerintah pusat--adalah sangat tidak relevan atau bahkan cenderung "menyesatkan".

Solusi permasalahan seperti ini sangat bersifat "pragmatis-parsialistis" karena dihasilkan dari "bias"pemahaman atas "penggalan peristiwa". Sementara terapi permasalahan yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa adalah terapi yang dibangun berdasarkan pemahaman atas "rangkaian peristiwa" (bukan "penggalan peristiwa").

Dengan merujuk pada perspektif state-society relation sebagaimana diutarakan di atas, terapi yang harus dilakukan ke depan seyogianya bukan pada upaya melakukan "resentralisasi kekuasaan" dan "penghapusan pilkda", misalnya, tetapi lebih pada upaya mengelola/mengendalikan "bias relasi" antarelite.

Semoga serpihan pemikiran ini dapat menjadi masukan bagi para anggota DPR RI yang baru saja dilantik pada tanggal 1 Oktober 2009 yang lalu dan bagi Presiden SBY yang saat ini sedang melakukan "audisi" bagi para calon anggota kabinetnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar